Sabtu, 13 Februari 2010

Seni dan Budaya Rejang

Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatra selain suku Bangsa Melayu, argumen ini dikuatkan bahwa Suku Rejang ini telah memiliki tulisan dan bahasa sendiri, ada perdebatan-perdebatan panjang mengenai asal-usul Suku Rejang, selain sejarah turun temurun beberapa tulisan tentang rejang ini adalah tulisan John Marsden (Residen Inggris di Lais, tahun 1775-1779), dalam laporannya dia meceritakan tentang adanya empat petulai Rejang yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (Selupu) dan Toobye (Tubai).

Catatan-catatan lain tentang Kedudukan 4 Petulai tersebut sebagai komunitas adat asli Rejang, dalam laporannya mengenai ‘adat-federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang Dr. JW. Van Royen menyebutkan bahwa kesatuan Rejang yang paling murni dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang di satu Bang, harus diakui Rejang yang ada di wilayah Lebong.

System Petulai dalam sejarah Suku Bangsa Rejang dan warga komunitasnya merupakan himpunan manusia (indigenous community) yang tunduk pada kesatuan Hukum yang dijalankan oleh penguasa yang timbul sendiri dari Masyarakat Hukum Adat, kelembagaan petulai adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari system unilateral (kebiasaanya disusurgulurkan kepada satu pihak saja) dengan system garis keturunannya yang partrinial (dari pihak laki-laki) dan cara perkawinannya yang eksogami, sekalipun mereka berada di mana-mana.

Sebagai indigenous community suku bangsa rejang tentunya memiliki beberapa kearifan local dalam mengurus diri (manusia, alam dan gaib) kemudian dikenal dengan istilah local adat rian ca’o atau adat neak kutai nated. Aplikasi system ini umumnya dalam system adat Rejang di aplikasikan dalam berbagai bentuk dengan nilai estetika yang tinggi, system demokrasi diaplikasikan dengan musyawarah mupakat oleh tetua adat yang kuat akan legitimasi komunitas ‘jurai’ yang dipimpinnya, dengan sumber-sumber daya alam system pengelolaannya lebih kental dengan system kepemilikan komunal di beberapa tahapannya dilakukan dengan menampilkan seni budaya yang magis, ‘kedurai’ adalah salah satu budaya untuk membuka Hutan, ‘Mundang Biniak’ acara seni budaya ketika menanam padi, dan ‘kedurai agung’ adalah pentas seni kolosal yang dipercayai mampu menangkat musibah bagi komunitas tertentu.

Jika dilihat lebih jauh aplikasi system seni dan budaya ini sangat kuat akan nilai-nilai yang tentunya akan bermanfaat baik bagi keberlanjutan komunitas Rejang secara umum, baik system kelembagaan komunal maupun keberlanjutan sumber-sumber daya alam yang ada dalam lingkup komunitas Rejang yang sangat memiliki hubungan dengan masing-masing petulai.

UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa tidak hanya berdampak pada system dan legitimasi hokum atas kelembagaan adat di Rejang tetapi di saat yang sama mengenalisir aplikasi seni dan budaya, mendistorsi definisi adat, kemudian secara berlahan-lahan sistem social dengan kepemilikan komunal mulai berganti dengan system individualism yang sempit dan mengedepankan akumulasi capital yang exploitative baik terhadap sumber-sumber daya alam maupun terhadap system social dalam bentuk seni budaya.

Persoalan ini kemudian lambat laun akan berdampak pengahancuran lebih jauh terhadap kelembagaan, seni dan budaya masarakat Rejang sehingga hal yang paling mungkin untuk dilakukan adalah dengan mendokumentasikan kembali system-system seni dan budaya tersebut, sehingga nilai-nilai yang terkandung didalamnya akan menumbuhkan apresiasi tidak hanya bagi komunitas Rejang tetapi apresiasi masyarakat lebih luas terhadap nilai-nilai yang terkandunbg didalamnya yang tentunya lebih mampu mengelola dirinya secara baik dan berkelanjutan.