Jumat, 11 Juni 2010

proposal kinerja pns

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kinerja PNS menjadi masalah yang cukup menarik dan penting, karena akan sangat berguna bagi penegakan hukum yang juga bermanfaat baik bagi kepentingan individu, masyarakat, bangsa dan negara (Salim Said, 2003: 54). Bagi individu, kinerja PNS yang baik akan menjamin terlindunginya pelayanan sipil dan penegakan hukum akan berjalan dengan baik. Bagi masyarakat, penelitian mengenai kinerja PNS akan memberikan antusiasme masyarakat untuk mendorong terciptanya hukum dan aturan yang dilaksanakan dengan baik.

1

Selain menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, pengaruh kinerja PNS yang baik akan menciptakan suasana yang aman dan nyaman karena hukum benar-benar dijadikan panglima, karena PNS merupakan salah satu aparat Negara (Kunarto, 2003: 46). Fungsi melayani masyarakat yang dijalankan dengan baik tersebut harus diwujudkan oleh PNS guna menciptakan pemerintah yang bersih dan berwibawa, yang berarti bahwa hukum diberlakukan kepada siapapun tanpa memandang apakah pejabat atau rakyat.

1

Momentum reformasi yang tak lain merupakan ledakan dari endapan kebencian rakyat yang dibentuk oleh pengalaman pahitnya selama berpuluh-puluh tahun telah mendorong dan merupakan faktor penekan untuk melakukan reformasi total. Reformasi di bidang hukum telah memberi angin segar bagi PNS.

Tekad demikian ini didasari oleh pemahaman dan kesadaran bahwa semakin maju suatu masyarakat, makin tinggi harapan (expectations) masyarakat itu terhadap kemampuan polisinya. Dengan demikian masyarakat madani yang hendak kita tuju akan selalu mendorong dan memberikan motivasi untuk pengembangan organisasi dan kemajuan PNS. Kata kunci yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat madani adalah PNS baru yaitu PNS yang mandiri dan profesional yang berorientasi pada kebutuhan masyarakatnya. Kemandirian yang ditandai profesionalisme khas PNS, yang menjamin tidak akan ada lagi intervensi terhadap tugas-tugas utamanya yaitu pelayanan publik.

Output dari reorientasi paradigmatik ini adalah meletakkan rakyat sebagai pusat perhatian dan pengabdian PNS, sehingga rakyat adalah titik awal dan titik akhir dari pengabdian PNS. Maka, PNS sebagai organ adalah merupakan bagian dari kelengkapan negara dan bukan pemerintah. PNS bukan alat penguasa tetapi sebuah badan kenegaraan yang bertugas melayani semua unsur yang ada dalam negara.

Kendati demikian, apa yang telah diuraikan di atas, hanya akan menjadi omong kosong apabila tidak terlebih dahulu memanusiakan PNS (Kunarto, 2004: 57). Karena sebaik apapun konsep yang telah diformulasikan tidak serta merta menjamin bahwa hal tersebut akan dapat teraktualisasi dengan baik. Apalagi bila dikaitkan dengan perilaku yang telah membudaya. Merubah budaya yang merupakan bentukan dari hasil interaksi sosial bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun tentulah memerlukan waktu yang cukup lama pula. Untuk membangun PNS yang manusiawi, yang nir KKN adalah mahal. Budaya KKN yang dianggap tidak manusiawi yang menjadi potret PNS selama ini sebenarnya terbentuk karena PNS sendiri diperlakukan secara tidak manusiawi. Memanusiakan PNS berarti memberikan penghargaan atau fasilitas kepada PNS sebagaimana tugas yang diembannya atau dapat dikatakan apa yang diterima oleh PNS seharusnya sebanding dengan pekerjaan yang dibebankan kepadanya untuk mencapai kualitas yang benar-benar profesional (Kunarto, 2004: 68).

Dikatakan oleh Louis A. Allen (2001: 72) bahwa, betapapun baiknya pemberian fasilitas, organisasi dan pengawasan serta penelitiannya, bila manusia tidak dapat menjalan tugasnya dengan minat dan gembira, maka tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. Fasilitas diperlukan mengingat tugas yang dibebankan kepada PNS menyangkut pelayanan masyarakat.

Uraian Allen tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa faktor manusia ternyata cukup berperanan dalam mencapai hasil sesuai dengan tujuan organisasi. Faktor pribadi manusia banyak dipengaruhi oleh motivasi, kemampuan dan tingkat pendidikannya. Sedangkan faktor yang mempengaruhi manusia yang berasal dari luar dapat berupa lingkungan, aturan maupun model kepemimpinan yang ada.

Tingkat pendidikan dalam tubuh PNS memang secara klasifikasi sudah terbentuk saat orang masuk ke dalam institusi tersebut. Kategori tersebut adalah PNS yang masuk golongan satu, dua, dan tiga (Kunarto, 2004: 41). Tingkatan pendidikan tersebut menentukan kepangkatan yang juga menentukan fasilitas yang diterimanya. Pemberian fasilitas dalam institusi PNS didasarkan pada kepangkatan dan jabatannya. Semakin tinggi jabatan atau kedudukan seseorang, tanggung jawab atas pekerjaannya pun semakin besar. Sebagai kompensasi atas pekerjaan tersebut, fasilitas yang diberikan pun berbeda dengan PNS yang lain.

Disiplin PNS merupakan faktor-faktor yang dikendalikan PNS itu sendiri yaitu berdasar pada perilaku keseharian dan kinerja yang dicapai. Dari penelitian yang telah dilakukan Kunarto (2004:62) dari Universitas Gadjah Mada, diketahui bahwa PNS yang memiliki disiplin tinggi memiliki tanggung jawab dan motivasi yang tinggi untuk bekerja lebih baik dan berprestasi.

Nurfaizi (2003: 45) menyatakan bahwa karakteristik PNS yang disiplin dan efektif mempunyai motivasi dari dalam dirinya untuk mengerjakan yang terbaik, mempunyai semangat untuk menghasilkan kinerja yang baik, berkembang, terstimulasi dan mampu mengatasi tantangan dari pekerjanya. Dalam penelitian dihasilkan bahwa PNS yang berkinerja tinggi adalah lebih inofatif, dan kreatif dan mereka lebih terstimulasi oleh pekerjaan mereka dan bekerja keras, lebih loyal terhadap institusi, mencapai prestasi yang lebih besar dari pekerjaan mereka serta lebih berkemauan dalam mengambil resiko.

Kinerja seseorang adakalanya mengalami peningkatan, dan adakalanya mengalami suatu penurunan. Bahkan penurunan atau peningkatan tersebut dapat mencapai suatu titik yang dapat mengakibatkan institusi kehilangan pamornya di mata masyarakat (Kunarto, 2004:49). Demikian pula dengan kinerja PNS, ada saatnya mengalami penurunan dan mengalami peningkatan. Namun demikian, harapan terciptanya kinerja harus diciptakan seiring dengan reformasi dalam tubuh PNS.

Berdasar latar belakang diatas maka peneliti mengambil judul “Pengaruh Fasilitas, Tingkat Pendidikan dan Disiplin terhadap Kinerja Pegawai di Setda Kota Salatiga”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Seberapa besar pengaruh antara pemberian fasilitas terhadap kinerja?

2. Seberapa besar pengaruh antara tingkat pendidikan terhadap kinerja?

3. Seberapa besar pengaruh disiplin kerja terhadap kinerja?

4. Seberapa besar pengaruh antara pemberian fasilitas, tingkat pendidikan dan disiplin kerja secara bersama- bersama terhadap kinerja?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis pengaruh pemberian fasilitas terhadap kinerja.

2. Untuk menganalisis pengaruh tingkat pendidikan tehadap kinerja.

3. Untuk menganalisis pengaruh disiplin terhadap kinerja personil.

4. Untuk menganalisis pengaruh pemberian fasilitas, tingkat pendidikan, dan disiplin secara simultan (bersama-sama) terhadap kinerja.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang ingin dicapai adalah:

1. Bagi Penulis

Penelitian ini merupakan evaluasi terhadap pengetahuan teoritis yang telah didapatkan selama masa studi dan menambah pengetahuan akan masalah-masalah yang terjadi di dalam tubuh PNS, terutama di bidang manajemen sumber daya manusia.

2. Bagi PNS

Dari hasil penelitian tersebut dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan lebih lanjut didalam pengambilan keputusan untuk meningkatkan kinerja PNS di waktu yang akan datang.

3. Bagi Pihak Lain

Semoga penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi yang akan menambah pengatahuan pembaca dan dapat menjadi dasar untuk mengadakan penelitian sejenis yang lebih baik


BAB II

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

A. Landasan Teori

1. Fasilitas

Fasilitas merupakan kemudahan yang diberikan kepada seseorang karena jasa atau jabatannya (Winardi, 2002: 32). Fasilitas merupakan segala sesuatu yang bersifat membantu atau mendukung terhadap sesuatu pekerjaan (Ashar Sunyoto Munandar, 2003: 14). Keberadaan fasilitas ini sangat penting dalam suatu organisasi atau pekerjaan. Fasilitas bagi seorang karyawan diartikan sebagai suatu bentuk kemudahan yang diterima karyawan baik berupa benda atau jasa sebagai wujud penghargaan atas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya (Kohli, 1998: 212).

Pemberian fasilitas dalam pekerjaan melihat dari berbagai aspek. Aspek-aspek tersebut menjadi pertimbangan guna pemberian fasilitas oleh pimpinan atau orang yang berwenang memberikan fasilitas. Demikian pula dengan bentuk atau wujud fasilitas yang diberikan. Ada beberapa pertimbangan seseorang memperoleh fasilitas dalam pekerjaannya, yaitu: (Kohli, 1998: 214)

a. Jenis Pekerjaan

7

Jenis pekerjaan menjadi pertimbangan pimpinan untuk memberikan fasilitas kepada karyawannya. Karyawan yang memiliki jam kerja yang lebih lama dan mengandung resiko serta menyangkut hajat orang banyak biasanya menjadi pertimbangan utama bagi pimpinan untuk memberikan fasilitas kepada karyawan yang masuk ke bagian ini. Pada jenis-jenis pekerjaan tertentu seperti rumah sakit, SAR, PMI dan lainnya memang diperlukan pemberian fasilitas yang memadai sehingga karyawan memiliki akses yang cepat untuk mendukung tugas dan tanggung jawabnya.

b. Jabatan

Kedudukan seseorang dalam instansi atau tempat kerja juga merupakan factor penting dalam pemberian fasilitas. Kedudukan mencerminkan tanggung jawab kerja yang dibebankan. Semakin besar tanggung jawab yang dibebankan berarti seseorang memiliki jabatan yang cukup tinggi, yang berarti pula membutuhkan fasilitas guna mendukung pekerjaannya. Pemberian fasilitas kerja karena jabatan juga menunjukkan prestise tersendiri bagi setiap instansi atau perusahaan. Orang akan melihat sebagai sebuah gambaran kebonafidan suatu perusahaan dengan adanya fasilitas yang diberikan kepada karyawannya.

c. Prestasi

Prestasi yang dicapai seseorang dalam bekerja perlu mendapatkan penghargaan. Salah satu wujud penghargaan tersebut adalah dengan pemberian fasilitas. Biasanya fasilitas tersebut dapat berupa fasilitas fisik seperti pemberian kompensasi atau tunjangan, kemudahan mendapatkan perumahan atau bahkan pemberian fasilitas lain seperti alat transportasi atau komunikasi. Pemberian fasilitas karena prestasi ini dilakukan dalam rangka memberikan penghargaan sekaligus upaya untuk memberikan motivasi kepada karyawan lain agar dapat memperoleh prestasi yang sama dengan karyawan tersebut.

d. Lokasi

Lokasi pekerjaan atau lokasi tempat tinggal karyawan untuk menuju tempat kerja pun menjadi pertimbangan pimpinan dalam memberikan fasilitas. Pada jenis-jenis pekerjaan tertentu memerlukan akses yang cepat, sehingga memerlukan sarana transportasi yang memadai sehingga tidak terlambat hadir di tempat kerja, karena keterlambatan tersebut akan berakibat fatal baik bagi perusahaan maupun orang yang dilayani, apabila pekerjaannya menyangkut pelayanan public.

Menurut Ashar Sunyoto Munandar (2003: 17) jenis-jenis fasilitas dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Fasilitas Fisik

Umumnya fasilitas yang diberikan kepada karyawan, terutama yang bersifat mendukung pekerjaan adalah fasilitas fisik. Fasilitas fisik ini menjadi pertimbangan penting, mengingat fasilitas fisik ini rata-rata menyangkut kehidupan seorang karyawan. Fasilitas fisik yang biasa diberikan kepada pegawai adalah:

1) Rumah

Setiap orang pasti memerlukan rumah untuk membangun kehidupan keluarga. Bagi seorang karyawan atau pegawai pemberian fasilitas rumah atau bahkan kredit lunak untuk memiliki rumah merupakan suatu fasilitas yang diidamkan bagi seorang karyawan. Bahkan, bagi seorang karyawan, rumah dinas pun menjadi sangat penting untuk mendekatkan diri pada tempat kerja sehingga mampu bekerja dengan optimal dan tidak kelelahan.

2) Kendaraan/ alat transportasi

Selain rumah, alat transportasi dibutuhkan untuk mendukung pekerjaan atau alat untuk mencapai lokasi kerja. Keberadaan alat transportasi bagi jenis-jenis pekerjaan seperti pelayanan public (rumah sakit, pemadam kebakaran, PMI, SAR) merupakan hal yang sangat vital.

3) Sarana Komunikasi

Sarana komunikasi dibutuhkan terutama pada instansi-instansi tertentu yang bertugas menjaga keamanan atau bahkan setiap perusahaan membutuhkannya. Pemberian fasilitas berupa sarana komunikasi ini akan memudahkan pimpinan untuk pendelegasian tugas kepada bawahan apabila sewaktu-waktu dibutuhkan.

b. Kompensasi/ Tunjangan

Sebagai wujud penghargaan atas hasil kerja atau pekerjaan seseorang, pemberian fasilitas berupa kompensasi atau tunjangan gaji merupakan hal yang harus dilakukan. Pemberian kompensasi ini akan memberikan dampak positif bagi karyawan dalam bekerja. Namun demikian, pemberian kompensasi yang tidak melihat pada jenis pekerjaan dapat menimbulkan kecemburuan pada karyawan lain yang berakibat kurang harmonisnya hubungan antar karyawan.

c. Fasilitas Lain (Jasa)

Fasilitas lain dapat berupa kemudahan untuk bertemu dengan pimpinan, pemberian kewenangan untuk mengatur karyawan yang keluar dan masuk juga merupakan salah satu fasilitas. Bahkan pada beberapa perusahaan, pemberian fasilitas ini dimanfaatkan untuk memasukkan keluarga/kroninya untuk bekerja di perusahaan. Fasilitas lain yang sering diterima karyawan adalah pemberian fasilitas kesehatan yang lebih baik. Seorang pimpinan atau kepala bagian pada perusahaan swasta akan mendapat jaminan pelayanan kesehatan yang lebih baik daripada karyawan biasa.

Fasilitas-fasilitas yang umum dalam suatu instansi dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok, yaitu antara lain: (Thomas Suyatno, 1999:64)

a. Bangunan/Fisik

Bangunan atau gedung merupakan tempat dimana kegiatan suatu istansi dilakukan, baik pelayanan jasa, pembuatan produk dan hal lain yang berhubungan dengan segala aktivitasnya. Bangunan yang dilengkapi dengan fasilitas yang memadai akan memberikan dukungan pada pelayanan dan produk yang dihasilkan, terutama pada perusahaan-perusahaan jasa. Dalam lingkungan PNS, fasilitas bangunan yang dimaksud adalah pemberian rumah dinas kepada personil yang memiliki jabatan, asrama untuk personil untuk memudahkan dalam menjalankan tugas.

b. Alat Operasional

Alat operasional merupakan alat yang mendukung sehingga aktivitas organisasi kepolisian khususnya jajaran Polres dapat berjalan dengan lancar dan tepat waktu. Alat-alat ini merupakan faktor yang penting untuk menghasilkan kinerja yang bermutu. Kinerja yang bermutu akan cenderung menjadi harapan. Alat operasional tersebut dapat berupa fasilitas komunikasi, kendaraan atau persenjataan dalam tubuh PNS. Fasilitas ini sangat penting bagi personil PNS untuk dapat mewujudkan polisi yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.

c. Fasilitas Berupa Pelayanan

Pelayanan kesehatan dan berbagai bentuk pelayanan jasa bagi personil polisi merupakan suatu bentuk yang harus diciptakan. Kesehatan personil akan sangat menunjang dalam melaksanakan pekerjaannya.

2. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan yang ditempuh oleh seseorang atau sekelompok orang (BPS, 1999: 2). Tingkat pendidikan diartikan sebagai strata pendidikan yang dikategorikan sebagai tingkat pendidikan rendah, menengah dan tinggi (Sulastomo, 1998: 42).

Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia. Dengan pendidikan dapat ditingkatkan pengetahuan dan ketrampilan yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan produktivitas.

Pendidikan dapat pula dilihat sebagai investasi sumberdaya manusia dan hasilnya akan diperoleh beberapa tahun kemudian (Tjiptoherijanto P, 1996:23). Walaupun saat ini ada kecenderungan bahwa sarjana lulusan perguruan tinggi lebih banyak yang menganggur daripada bekerja. Hal, ini terutama disebabkan terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia, padahal penduduk yang lulus perguruan tinggi setiap tahunnya selalu bertambah. Sebagai akibatnya banyak diantara para sarjana yang bekerja pada bidang yang bukan keahliannya. Hal ini terpaksa dilakukannya dengan pertimbangan daripada menganggur.

Faktor-faktor yang berpengaruh di bidang pendidikan antara lain adalah isu keterbatasan dan pemerataan sarana dan prasarana (sekolah, peralatan, buku dan guru). Disamping itu pertumbuhan ekonomi yang rendah, sangat berpengaruh terhadap kecukupan tenaga pengajar dan kesejahteraan guru yang akan berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Kendala geografis dan faktor sosial yang ada juga berpengaruh terhadap pelaksanaan wajib belajar 9 tahun. Hal ini mengingat adanya penilaian bahwa anak tidak lebih sebagai tenaga kerja daripada sebagai investasi sumberdaya manusia di bidang pendidikan.

Secara umum tingkat pendidikan penduduk masih didominasi oleh penduduk yang memiliki pendidikan SD kebawah, dan sekitar 38 % mempunyai pendidikan yang dikelompokkan sebagai pendidikan menengah (SMTP, SMTA dan Diploma 1 dan 2), sedangkan sisanya hanya sekitar 2% mempunyai tingkat pendidikan relatif tinggi (Akademi dan Perguruan Tinggi).

Secara makro, tingkat pendidikan merupakan bagian atau subsistem dari pendidikan nasional Indonesia. Hubungan timbal balik antara pendidikan dengan ekonomi nasional secara keseluruhan merupakan kajian utama dalam ilmu atau teori tentang ekonomi pendidikan (Seberapa besar pengaruh tingkat pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan sebaliknya seberapa besar pengaruh ekonomi terhadap tingkat pendidikan atau peningkatan kecerdasan bangsa.)

Konsepsi Ekonomi Pendidikan walaupun lebih lambat kemunculannya dibanding dengan lapangan studi yang lain dalam ilmu ekonomi, ekonomi pendidikan atau ‘education economics’ atau ‘economics of education’ tumbuh dan berkembang pesat secara mandiri dengan memusatkan perhatiannya pada investasi sumberdaya manusia.
Subyek pengamatan dalam ekonomi pendidikan terdiri dari dua hal yang berbeda tetapi berhubungan, yaitu:

- Analisis atas nilai ekonomis pendidikan

- Analisis atas aspek ekonomis institusi pendidikan

Yang pertama berkepentingan dengan dampak pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi, terutama dalam hal produktivitas tenaga kerja, mobilitas penempatan kerja dan pemerataan pendapatan. Sedangkan yang kedua lebih berkepentingan dengan efisiensi internal institusi pendidikan dan implikasi finansial dari biaya pendidikan.

Dikaitkan dengan pendidikan nasional, tingkat pendidikan pada dasarnya merupakan dasar untuk mengkaji sejauh mana efektifitas peranan institusi/lembaga pendidikan dalam peningkatan kinerja organisasi lingkungannya. Sejauh mana peranan lembaga pendidikan dalam peningkatan profesionalisme organisasi, sesuai stratanya.

Seperti pada manajemen secara umum, manajemen pendidikan meliputi empat hal pokok, yaitu perencanaan pendidikan, pengorganisasian pendidikan, penggiatan pendidikan, dan pengendalian atau pengawasan pendidikan. Secara umum terdapat sepuluh komponen utama pendidikan, yaitu: peserta didik, tenaga pendidik, tenaga kependidikan, paket instrusi pendidikan, metode pengajaran (dalam proses belajar mengajar), kurikulum pendidikan, alat instruksi & alat penolong instruksi, fasilitas pendidikan, anggaran pendidikan, dan evaluasi pendidikan.

Perencanaan pendidikan dimaksudkan untuk mempersiapkan semua komponen pendidikan, agar dapat terlaksana proses belajar mengajar yang baik dalam penyelenggaraan pendidikan dalam mencapai sasaran keluaran pendidikan seperti yang diharapkan. Pengorganisasian pendidikan ditujukan untuk menghimpun semua potensi komponen pendidikan dalam suatu organisasi yang sinergis untuk dapat menyelenggarakan pendidikan dengan sebaik-baiknya. Penggiatan pendidikan adalah pelaksanaan dari penyelenggaraan pendidikan yang telah direncanakan dan diawaki oleh organisasi penyelenggara pendidikan dengan memparhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam perencanaan dalam rangka mencapai hasil keluaran pendidikan yang optimal. Pengendalian pendidikan dimaksudkan untuk menjaga agar penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan sesuai yang direncanakan dan semua komponen pendidikan digerakkan secara sinergis dalam proses yang mengarah kepada pencapaian tujuan pendidikan yang dijabarkan dalam sasaran-sasaran menghasilkan keluaran secara optimal seperti yang telah ditetapkan dalam perencanaan pendidikan.

Upaya menghasilkan keluaran secara optimal dapat juga dilaksanakan dengan menerapkan Total Quality Management (TQM) dalam pengelolaan pendidikan. Dalam penerapan TQM sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pengelolaan perguruan tinggi, Cole menggunakan Model perencanaan aksi TQM. Model tersebut terbagi dalam dua ‘tahap’, yaitu pertama, tahap melakukan sesuatu yang benar (‘doing the “right things”) dan yang kedua, tahap melakukan sesuatu secara benar (‘doing thing “right”). Tahap pertama meliputi perumusan visi, diikuti dengan perjabarannya ke dalam misi, kemudian stelah dilakukan analisis sistemnya, dirumuskan rencana strategis dengan perumusan sasaran/tujuan institusi.

Tingkat pendidikan memang menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam kalangan masyarakat, yang juga berpengaruh terhadap pendidikan dan latihan yang diterimanya ketika memasuki dunia kerja. Tingkat pendidikan digolongkan berdasarkan tingkatannya sebagai berikut (Sulastomo, 1998: 23):

a. Tingkat Pendidikan Rendah

Tingkat pendidikan dikatakan rendah apabila seseorang hanya lulus SD atau bahkan tidak berpendidikan. Dahulu, ukuran tingkat pendidikan rendah didasarkan pada jenjang pendidikannya. Setelah ada wajib belajar 9 tahun tingkat pendidikan dinyatakan rendah apabila seseorang hanya lulus SLTP.

b. Tingkat Pendidikan Menengah

Tingkat pendidikan menengah apabila seseorang mampu menyelesaikan pendidikan setingkat pendidikan menengah. Pendidikan menengah di Indonesia mencakup pendidikan menengah pertama maupun menengah atas atau kejuruan.

c. Tingkat Pendidikan Tinggi

Seseorang dikatakan berpendidikan tinggi apabila seseorang menempuh pendidikan perguruan tinggi. Diploma, S1, S2, maupun S3 merupakan jenjang pendidikan tinggi. Seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan tersebut dikategorikan sebagai orang yang memiliki pendidikan tinggi

Dalam struktur masyarakat Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2003 mengklasifikasikan tingkat pendidikan masyarakat Indonesia sebagai berikut: (BPS, 2003: 54)

a. Tidak berpendidikan

Kategori orang yang tidak berpendidikan ini merupakan orang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Jumlah orang yang tidak berpendidikan di Indonesia pada tahun 2003 masih berkisar 12-15%.

b. Berpendidikan rendah

Sejalan dengan adanya kebijakan pemerintah mengenai wajib belajar 9 tahun maka tingkat pendidikan rendah adalah mereka yang lulus pendidikan menengah pertama ke bawah.

c. Berpendidikan menengah

Seseorang dikategorikan berpendidikan menengah apabila seseorang menempuh pendidikan menengah atas. Jumlah penduduk Indonesia yang masuk kategori ini pada tahun 2003 berkisar antara 30-35%.

d. Berpendidikan tinggi

Kategori berpendidikan tinggi ini bagi seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan diploma hingga sarjana. Jumlah penduduk dalam kategori ini masih berkisar antara 15-18% pada tahun 2003.

Rendahnya tingkat pendidikan juga telah mengakibatkan rendahnya partisipasi penduduk dalam kegiatan pembangunan. Hal ini mengingat banyak diantara mereka yang tidak dapat memasuki pasaran kerja terutama yang memerlukan ketrampilan khusus. Oleh karena itu banyak sektor pasar kerja tertentu diisi oleh pendatang. Adanya kompetisi dalam memasuki pasar kerja tersebut merupakan salah satu pemicu munculnya konflik antara pendatang (migran) dengan bukan pendatang (non migran). Konflik tersebut kadang-kadang dikaitkan pula dengan isu-isu SARA yang dapat menimbulkan kerusuhan sosial.

Dari gambaran diatas terlihat bahwa kondisi pendidikan perlu mendapat perhatian khusus. Salah satu strategi yang dapat dikembangkan dalam rangka peningkatan bidang pendidikan adalah dengan peningkatan partisipasi sekolah terutama sekolah dasar, sekolah menengah dan pendidikan sejenis yang setara, pendirian sekolah-sekolah kejuruan yang sesuai dengan potensi sumberdaya setempat, peningkatan mutu perguruan tinggi dan peningkatan akses untuk mengikuti Pendidikan Tinggi (di dalam negeri dan di luar negeri).

3. Disiplin

a. Pengertian Disiplin

Bagi banyak orang, disiplin ini menimbulkan arti yang biasa dipahami orang, menimbulkan gambaran yang amat keras, bayangan tentang hukuman, pembalasan dan bahkan kesakitan. Pada sisi lain,"disiplin" mengacu pada usaha membantu orang lain melalui pengajaran dan pelatihan. Contohnya, kata " a disciple" dalam bahasa Inggris berarti seseorang yang mengikuti ajaran orang lain (Robert Baca, 2003 :163). Dalam banyak definisi, pengertian disiplin, antara lain : pada ekstrem yang satu, disiplin berarti memaksa orang lain untuk patuh (Koentjaraningrat, 1999: 41).

Menurut bahasa, disiplin adalah ketaatan pada peraturan tata tertib sesuatu bidang yang mempunyai objek, sistem dan metode tertentu. Sedangkan berdisiplin adalah mengusahakan supaya mentaati tata tertib (Purwadarminta, 1996: 76). Menurut Arikunto (1999: 114), disiplin merupakan sesuatu yang berkenaan dengan pengendalian diri seseorang terhadap bentuk-bentuk aturan. Peraturan dimaksud dapat diterapkan oleh orang yang bersangkutan maupun berasal dari luar.

Nitisemito (1996: 199) menyatakan bahwa masalah kedisiplinan kerja merupakan masalah yang perlu diperhatikan, sebab dengan adanya kedisiplinan dapat mempengaruhi efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan organisasi. Disiplin kerja diperlukan karena disiplin merupakan bentuk ketaatan dari perilaku seseorang untuk mematuhi ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan tertentu yang berkaitan dengan pekerjaan dan diberlakukan dalam suatu organisasi atau perusahaan.

Sedangkan Sutisno (2002: 16) menyatakan bahwa disiplin adalah:

1) Proses atau hasil pasrahan atau pengendalian keinginan, dorongan, demi satu cita-cita untuk mencapai suatu tindakan yang lebih efektif.

2) Pencarian suatu cara bertindak yang terpillih dengan gigih, aktif, dan diarahkan sendiri sekalipun menghadapi rintangan.

3) Latihan yang mengembangkan pengembangan diri, karakter, atau keadaan serba teratur dan efisien.

4) Penerimaan atau kepatuhan terhadap kekuasaan kontrol.

Koentjaraningrat (1999: 117) menyatakan bahwa sikap disiplin diartikan sebagai sikap yang selalu taat dan tertib terhadap segala bentuk peraturan yang diterapkan. Sikap disiplin ini timbul sebagai suatu bentuk sikap ikhlas untuk bertindak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku, baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa dan negara.

Sedangkan Sri Rahayu Haditono (1996: 3) mendefinisikan bahwa sikap disiplin adalah perwujudan sikap dan tingkah laku yang secara sadar rela untuk melaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap disiplin adalah sikap yang sadar, ikhlas dan rela untuk bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan norma, aturan ataupun hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Sikap disiplin timbul melalui dua kekuatan, yaitu kekuatan dari dalam yang sudah dibawa sejak lahir atau yang disebut kemampuan dasar dan kekuatan yang berasal dari luar seperti pengaruh keluarga, lingkungan, organisasi maupun masyarakat.

1) Kekuatan yang dibawa sejak lahir

Faktor kekuatan yang dibawa sejak lahir menurut Sri Rahayu Haditono (1996: 7) adalah anak lahir dalam keadaan suci dan memiliki berbagai sifat pembawaan. Ada anak yang memang sejak lahir memiliki pembawaan disiplin, nakal, cerdas dan lain sebagainya. Memang faktor ini ada yang mempengaruhi anak hingga dewasa, namun ada juga pembawaan yang akhirnya terpengaruh oleh pergaulan dalam lingkungan sosialnya.

2) Kekuatan dari luar

Kekuatan dari luar yang dimaksud adalah interaksi sosial, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun bangsa dan negara. Faktor kekuatan dari luar menurut Koentjaraningrat (1999: 104) merupakan faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan sikap disiplin. Anak yang membawa sifat yang baik sejak lahir, akibat pengaruh dari luar dapat menjadi orang yang memiliki perilaku yang buruk. Demikian pula sebaliknya, anak yang memiliki pembawaan yang buruk, akibat pergaulan menjadi baik juga sering ditemukan.

b. Indikator Kedisiplinan

Hasibuan (2000: 194-198) menyatakan bahwa indikator – indikator kedisiplinan meliputi:

1) Tujuan dan kemampuan

Menurut Davis & Newstrom (1996: 8), tujuan pendisiplinan antara lain memperbaiki perilaku pelanggar standar, mencegah orang lain melakukan tindakan serupa, dan mempertahankan standar kelompok yang konsisten dan efektif. Disinilah letak pentingnya prinsip "right man in the right place" (orang yang tepat di tempat yang tepat).

2). Keteladanan pemimpin

Keteladanan pemimpin mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menegakkan kedisiplinan sebab pemimpin merupakan panutan bagi seluruh anggota organisasi. Apabila pemimpin tidak atau kurang dapat berdisiplin, maka hal ini akan menjadi contoh bagi bawahannya.

3). Balas Jasa

Balas saja atau reward akan mempengaruhi kedisiplinan individu karena semakin besar reward yang didapatkan oleh individu akan semakin baik pula kedisiplinan individu.

4). Keadilan
Keadilan yang menjadi landasan pemberian reward dan hukuman akan merangsang terciptanya kedisiplinan karena sudah menjadi sifat manusia ingin diperlakukan setara dan merasa dirinya penting.

5). Waskat (pengawasan melekat)

Waskat adalah tindakan nyata yang efektif dalam mewujudkan kedisiplinan. Dengan waskat, atasan secara langsung mengawasi perilaku, moral, sikap, gairah kerja, dan prestasi kerja individu. Bawahan akan merasa diperhatikan, mendapat bimbingan, petunjuk, pengarahan, dan pengawasan dari atasan. Untuk itu perlu dipertimbangkan juga faktor – faktor sebagai berikut: a) absensi, b) alpa, dan c) keterlambatan kerja dan lingkungan kerja.

6). Sanksi Hukuman

Sanksi hukuman berperan penting dalam memelihara kedisiplinan. Sanksi hukuman hendaknya cukup wajar untuk setiap pelanggaran atau tindakan indisipliner, bersifat mendidik, dan menjadi motivator untuk memelihara kedisiplinan.

7). Ketegasan
Ketegasan pimpinan dalam melakukan tindakan akan mempengaruhi kedisiplinan. Pimpinan harus berani dan tegas dalam memutuskan setiap persoalan dan dalam meberikan hukuman pada setiap tindakan indisipliner. Apabila pimpinan kurang tegas dalam memberikan hukuman, maka boleh jadi akan semakin banyak terjadi pelanggaran karena bawahan menganggap bawaha peraturan sudah tidak berlaku lagi.

8). Hubungan Kemanusiaan

Hubungan kemanusiaan yang harmonis dalam suatu organisasi ikut menciptakan kedisiplinan yang baik. Terciptanya hubungan yang baik juga akan menjadikan lingkungan dan suasana kerja yang nyaman.

Sedangkan menurut Moenir (1999: 183), indikator-indikator yang mempengaruhi disiplin kerja antara lain:

1). Disiplin terhadap waktu yang meliputi: a) tingkat absensi, dan b) hilangnya waktu kerja.

2). Disiplin terhadap waktu kerja yang meliputi: a) efektifitas kerja, b) penggunaan peralatan, dan c) sikap hati-hati dalam melaksanakan tugas.

3). Disiplin terhadap prosedur kerja yang meliputi: a) ketaatan pada tata tertib, dan b) menguasai cara kerja.

Berdasarkan teori di atas dapat disimpulkan bahwa indikator kedisiplinan meliputi tujuan dan kemampuan individu, keteladanan pemimpin, balas jasa, keadilan, pengawasan melekat, pemberian sanksi hukuman, ketegasan, dan pembinaan hubungan kemanusiaan.

c. Tujuan Kedisiplinan

Menurut Handoko (2000: 211), tujuan kedisiplinan adalah untuk memperbaiki kegiatan di waktu yang akan datang, bukan menghukum kegiatan di masa lalu sehingga kegiatan yang akan dilaksanakan dapat lebih berdayaguna. Akan tetapi hal ini dapat menjadi kontra produktif karena ada kecenderungan individu untuk mengulangi kesalahan bila tidak ada konsekuensi tertentu terhadap pelanggaran. Siswanto (1999: 242) menyatakan bahwa tujuan disiplin dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1). Tujuan umum.

Tujuan umum disiplin kerja adalah demi kontinuitas organisasi sesuai dengan motif organisasi yang bersangkutan baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.

2). Tujuan khusus

Tujuan khusus disiplin kerja adalah: a) agar anggota organisasi menepati segala peraturan dan kebijakan organisasi, dan b) dapat bertindak dan berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku
Berdasarkan pendapat – pendapat di atas, tujuan kedisiplinan adalah sebagai alat untuk menjaga kontinuitas organisasi. Kedisiplinan menghendaki perbaikan kegiatan untuk masa yang akan datang sehingga ketaatan anggota pada peraturan pun dapat meningkat dan prestasi kerja dapat ditingkatkan.

d. Pengaruh organisasi/ institusi terhadap perkembangan disiplin

Institusi/ organisasi merupakan tempat pendidikan bagi setiap orang yang ada didalamnya. Di dalam organisasi/ institusi seseorang mendapatkan pendidikan yang cukup penting. Menurut Slameto (1996:42) bahwa organisasi sebagai dasar meletakkan pendidikan yang paling awal bagi anggota-anggotanya. Untuk itu jika menginginkan anggotanya baik, maka pendidikan dan lingkungan organisasi harus ditata dengan sebaik-baiknya sehingga anggota organisasi mendapatkan suri teladan sebagai modal pendidikannya.

Di dalam lingkungan organisasi seseorang mengenal aturan yang ada, kasih sayang, norma atau aturan, dan hal lainnya. Perkembangan seseorang akan terbentuk melalui kebiasaan yang ada dalam organisasi. Organisasi yang sehat akan menjadikan seseorang berkembang psikologisnya dengan baik, sedangkan organisasi yang kurang baik akan membawa akibat kurang berkembangnya psikologis anggotanya, yang nantinya akan berakibat anggota berperilaku menyimpang dari norma yang ada (Abu Ahmadi, 2000:47).

4. Kinerja

Menurut Dessler (1992:24) kinerja merupakan prestasi kerja, yakni pembandingan antara hasil kerja yang secara nyata dengan standar kerja yang ditetapkan. Dengan demikian kinerja memfokuskan pada hasil kerjanya. Sedangkan menurut Winardi (1992:46) kinerja merupakan konsep yang bersifat universal yang merupakan efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi dan bagian dari institusi berdasar standar dan kriteria yang telah ditetapan sebelumnya, karena organisasi pada dasarnya dijalankan oleh manusia, maka kinerja sesungguhnya merupakan perilaku manusia dalam memainkan peran yang lakukan di dalam suatu organisasi untuk memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan agar membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan. Ranupandoyo dan Husnan (2002: 52), menyatakan bahwa kinerja (performance) sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan motivasi.

Menurut Mangkunegoro (2000: 22), pengertian kinerja dimulai dari kata job performance atau actual job. Pengertian lain dari Gomes dalam Kohli (1999: 23), menyatakan kinerja sebagai catatan terhadap hasil produksi dan sebuah pekerjaan tertentu atau aktivitas tertentu dalam periode waktu tertentu. Sikula dalam Rambat Lupiyoadi (2004: 37) mendefinisikan kinerja sebagai suatu evaluasi yang sistematis dari pekerjaan pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan.

Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan pegawai. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi. Perbaikan kinerja baik untuk individu maupun kelompok menjadi pusat perhatian dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi (Jackson dalam As’ad, 2002: 78).

Kinerja atau prestasi kerja seorang karyawan pada dasarnya adalah hasil kerja seseorang karyawan selama periode tertentu dibandingkan dengan kemungkinan, misalnya standar, target atau sasaran yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama (Suprihanto dalam As’ad, 2002: 33).

Menurut Dessler (1997: 61), penilaian kinerja adalah memberikan umpan balik kepada personil dengan tujuan memotivasi orang tersebut untuk menghilangkan kemerosotan kinerja atau berkinerja lebih tinggi lagi. Lebih lanjut Dessler (1997: 69), menyatakan bahwa penilaian kerja terdiri dari tiga langkah, pertama mendefinisikan pekerjaan berarti memastikan bahwa atasan dan bawahan sepakat tentang tugas-tugasnya dan standar jabatan. Kedua, menilai kinerja berarti membandingkan kinerja aktual atasan dengan standar-standar yang telah ditetapkan, dan ini mencakup beberapa jenis tingkat penilaian. Ketiga, sesi umpan balik berarti kinerja dan kemajuan atasan dibahas rencana-rencana dibuat untuk perkembangan apa saja yang dituntut.

Berdasarkan pengertian kinerja dari beberapa pendapat di atas, kinerja merupakan perbandingan hasil kerja yang dicapai oleh personil dengan standar yang telah ditentukan. Kinerja juga berarti hasil yang dicapai oleh seseorang, baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepada personil, intensif, pengalaman kerja dan motivasi. Hasil kerja seseorang akan memberikan umpan balik bagi orang itu sendiri untuk selalu aktif melakukan kerjanya secara baik. Kinerja diharapkan menghasilkan mutu pekerjaan yang baik serta jumlah pekerjaan yang sesuai dengan standar. Tingkat pendidikan sangatlah mempengaruhi kinerjanya, karena dengan pendidikan orang lebih mempunyai wawasan yang lebih luas dan umumnya tingkat pergaulannya juga lebih luas. Selain itu kemampuan seseorang untuk berinisiatif dan berinovasi berpengaruh terhadap kinerjanya.

a. Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Tujuan organisasi dapat tercapai apabila personil mempunyai semangat kerja yang tinggi, meningkatkan kemampuannya dalam menjalankan tugas yang diberikan untuk mencapai prestasi yang optimal. Kinerja merupakan hasil interaksi antara motivasi dengan kemampuan yang dikenal dengan teori harapan. Dengan demikian orang yang tinggi motivasinya tetapi memiliki kemampuan yang rendah akan menghasilkan kinerja yang rendah. Begitu juga orang yang kemampuannya tinggi mempunyai motivasi yang rendah akan menghasilkan kinerja yang rendah. Untuk menghasilkan kinerja yang tinggi harus mempunyai motivasi dan kemampuan yang tinggi, sebaliknya apabila seseorang mempunyai kemampuan dan motivasi yang rendah, maka kinerja yang dihasilkan rendah pula. Dalam meningkatkan kinerja perlu memberikan motivasi dan pelatihan-pelatihan yang sesuai dengan pekerjaannya yaitu sebagai pegawai, sehingga apa yang menjadi harapan perusahaan dapat tercapai. Kinerja yang lebih tinggi diperoleh melalui aktivitas yang memuaskan. Lebih lanjut dalam penelitian yang dilakukannya, (Piercy, N, Ct al, 1997:47) menyatakan bahwa persentase kerja yang meliputi kemampuan untuk mendengar dan memahami keinginan masyarakat, meyakinkan bahwa mereka memahami keinginan masyarakat, presentasi yang sangat jelas serta bekerja keras dalam memberikan signifikan yang cukup tinggi dalam mendukung kemampuan personil. Demikian pula pada tingkat pengetahuan teknis personil mengenai tugas dan kewajibannya, juga memberikan tingkat signifikasi yang cukup tinggi dalam kemampuan melaksanakan pekerjaan. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja antara lain: (Basu Swasta, 1994: 87)

1) Kemampuan

Kemampuan merupakan hal yang sangat penting dan berpengaruh terhadap berhasil tidaknya suatu organisasi dalam mengemban tugas-tugasnya. Personil yang mampu meyakinkan masyarakat serta mampu menjalin kerjasama yang baik dengan semua orang yang terkait dengan tugasnya akan mampu menghasilkan kinerja yang baik yang bermanfaat bagi keberlangsungan institusi. Kinerja personil dapat dibentuk melalui pelatihan-pelatihan, training, magang dan pendidikan sejenis sehingga personil mengetahui bagaimana teknik-teknik bekerja yang baik serta mampu menganalisis keadaan yang dihadapinya.

2) Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hal penting dan sangat berpengaruh terhadap kinerja. Hal tersebut diperlukan apabila suatu saat masyarakat atau pimpinan menanyakan terhadap hasil kerja atau pekerjaan yang dilakukan, personil mampu memberikan keterangan secara benar dan meyakinkan sehingga masyarakat menjadi semakin yakin. Pengetahuan haruslah bersifat menyeluruh, artinya penguasaan itu dapat meliputi tugas, kewajiban dan bagaimana memecahkan suatu permasalahan.

3) Sikap Karyawan

Sikap sebenarnya berkaitan dengan kemampuan. Namun, sikap disini lebih terfokus pada aktualisasi karyawan. Belum tentu seorang karyawan dengan kemampuan dan pengetahuan yang tinggi mampu melayani dengan sikap yang baik dan meyakinkan masyarakat. Atau dapat juga seorang karyawan dengan pengetahuan yang biasa justru mampu menganalisis sikap dengan baik. Sikap itu sendiri berhubungan dengan kepribadian dan ego seseorang. Dalam hubungan dengan orang lain sikap ini sangat penting, terutama saat berhadapan dengan masyarakat atau khalayak ramai. Karyawan yang memiliki sikap yang baik merupakan nilai tersendiri bagi masyarakat atau pimpinannya.

Sedangkan As’ad (2002: 49) menyatakan ada beberapa variabel yang mempengaruhi kinerja yaitu:

a. Variabel individu, yang terdiri dari:

1) Kemampuan dan keterampilan, baik mental atau fisik termasuk di dalamnya tingkat kedisiplinan

2) Latar belakang seperti keluarga, tingkat social, penggajian, tingkat pendidikan dan pengalaman yang pernah diperoleh

3) Demografis seperti umur, asal usul, jenis kelamin

b. Variabel organisasional, terdiri dari:

1) Sumberdaya di perusahaan

2) Kepemimpinan

3) Imbalan/gaji

4) Budaya organisasi

5) Desain pekerjaan

c. Variabel psikologis, yang meliputi:

1) Persepsi

2) Sikap

3) Kepribadian

4) Belajar

5) Motivasi

Untuk mengetahui kinerja seorang karyawan baik atau tidak diperlukan suatu penilaian kinerja. Penilaian kinerja merupakan upaya membandingkan target yang akan diperoleh dengan hasil yang dicapai. Penilaian kinerja menurut Hani Handoko (1998: 21) dapat dilakukan dengan beberapa metode sebagai berikut:

a. Rating scale, evaluasi hanya didasarkan pada pendapat nilai, yang membandingkan hasil pekerjaan karyawan dengan kriteria yang dianggap penting bagi pelaksanaan kerja.

b. Checklist, yang dimaksudkan dengan metode ini adalah untuk mengurangi beban penilai. Penilai tinggal memilih kalimat-kalimat atau kata-kata yang menggambarkan kinerja karyawan.

c. Metode peristiwa kritis, penilaian yang berdasarkan catatan-catatan penilai yang menggambarkan perilaku karyawan sangat baik atau jelek dalam kaitannya dengan pelaksanaan kerja.

d. Metode penyajian lapangan. Seseorang ahli dalam suatu departemen membantu para penyelia dalam penilaian karyawan.

e. Tes dan observasi prestasi kerja.

f. Method ranking, penilai membandingkan karyawan satu dengan karyawan lain, mana diantara mereka yang terbaik akan mendapatkan urutan dari paling baik sampai terjelek.

Penilaian terhadap kinerja sebagaimana tersebut di atas memiliki manfaat sebagai berikut: (Hani Handoko, 1999: 34)

a. Perbaikan prestasi kerja atau kinerja

b. Penyesuaian kompensasi yang diberikan

c. Keputusan-keputusan untuk penempatan dan promosi

d. Perencanaan kebutuhan latihan dan pengembangan

e. Perencanaan dan pengembangan karir

f. Mendeteksi penyimpangan proses staffing.

g. Melihat ketidakakuratan informasional

h. Mendeteksi kesalahan-kesalahan dalam desain pekerjaan

i. Menjamin kesempatan kerja yang adil

j. Melihat tantangan-tantangan eskternal seperti masalah keluarga seorang karyawan, kesehatan dan lingkungan kerja

B. Penelitian Terdahulu

Beberapa peneliti telah melakukan penelitian yang menguji pengaruh fasilitas, tingkat pendidikan dan disiplin kerja terhadap kinerja karyawan, dengan demikian untuk menguji pengaruh tingkat pendidikan, fasilitas dan disiplin kerja terhadap kinerja PNS Setda Salatiga, diperlukan hasil penelitian sebelumnya sebagai kerangka acuan dalam penelitian ini.

Beberapa penelitian tersebut antara lain :

Tabel 2.1

Penelitian Terdahulu

No

Judul Penelitian

Variabel

Hasil Penelitian

1

Pengaruh tingkat pendidikan dan fasilitas kerja terhadap kinerja pegawai Departemen Dalam Negeri, Sumantoro (1997)

Tingkat pendidikan fasilitas kerja sebagai variabel bebas dan kinerja sebagai variabel terikat

Hasil penelitian menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan pada kinerja untuk faktor tingkat pendidikan dan fasilitas kerja

2

Pengaruh tingkat pendidikan, motivasi kerja dan kedisiplinan terhadap kinerja pegawai Departemen Dalam Negeri (2001)

Tingkat pendidikan, motivasi, kedisiplinan variabel bebas dan kinerja sebagai variabel terikat

Hasil penelitian menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan pada kinerja untuk semua variabel bebas

3

Pengaruh faktor fasilitas kerja, pendidikan, dan disiplin kerja pada kinerja Pegawai Distanhutbun Yogyakarta

Nurrahman (2002)

Fasilitas, pendidikan dan disiplin kerja sebagai variabel bebas dan kinerja sebagai variabel terikat

Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan fasilitas kerja, pendidikan dan disiplin terhadap kinerja

4

Pengaruh tingkat pendidikan, promosi jabatan, dan disiplin kerja terhadap kinerja Dosen UI Budi W. Soetjipto (2003)

Pendidikan, promosi jabatan dan disiplin kerja sebagai variabel bebas dan kinerja sebagai variabel terikat

Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan pendidikan, promosi jabatan dan disiplin terhadap kinerja

C. Kerangka Pemikiran Teroristis

Tugas-tugas yang dijalankan oleh anggota organisasi ini akan dipengaruhi oleh tipe kepemimpinan, tingkat pendidikan, sikap disiplin personil dan fasilitas yang diberikan. Fasilitas diberikan dengan tujuan untuk mendukung kelancaran tugas dan tanggung jawab pekerjaan. PNS yang memiliki tingkat pendidikan dan kemampuan yang tinggi akan berpikir rasional dalam mengambil segala keputusan.

Demikian pula, pemberian fasilitas kepada PNS merupakan suatu bentuk perwujudan penghargaan terhadap tugas yang diberikan. Nilai fasilitas yang sebanding dengan tugas yang dibebankan akan menjadikan motivasi personil untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Motivasi yang tinggi dalam bekerja akan menimbulkan sikap disiplin terhadap tanggung jawab yang dibebankan.

Kinerja merupakan wujud atau hasil kerja seseorang terhadap tugas yang dibebankan kepadanya. Kinerja ini akan membawa dampak terhadap perkembangan organisasi PNS.

Secara ringkas hubungan antara variabel fasilitas, tingkat pendidikan dan disiplin terhadap kinerja dapat digambarkan dalam kerangka pikir pada gambar sebagai berikut:


Gambar 2.1

Kerangka Pikir

D. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara yang harus dibuktikan kebenarannya melalui suatu penelitian (Arikunto, 2001:56).

Berdasarkan deskripsi teori dan kerangka pikir di atas, maka dapat dirumuskan beberapa hipotesis sebagai berikut:

H1 : Diduga ada pengaruh pemberian fasilitas terhadap kinerja personil.

H2 : Diduga ada pengaruh tingkat pendidikan terhadap kinerja

H3 : Diduga ada pengaruh disiplin kerja terhadap kinerja

H4 : Diduga ada pengaruh pemberian fasilitas, tingkat pendidikan dan disiplin secara bersama-sama terhadap kinerja